Tanam Sayuran Lebih Menguntungkan

  • Bagikan
Pak Pur dan tanaman timunnya (Foto: Ono/wiradesa.co)

SLEMAN – Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah petani di Desa Madurejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menanam sayuran di lahan persawahannya. Karena hasil sayuran dirasa lebih menguntungkan dibandingkan menanam padi.

Salah satu petani di Dusun Serut Desa Madurejo, Surawan Purnomo, selain masih menanam padi juga menanam berbagai jenis sayuran, seperti timun, pare, lombok, kacang panjang, dan gambas. Dari variasi tanaman itu, dia bisa membandingkan hasil dari padi dan tanaman sayuran.

“Ternyata menanam sayuran, hasilnya lebih menguntungkan dibandingkan menanam padi,” ujar Surawan Purnomo saat ditemui wartawan wiradesa.co dan mandiripangan.com di area persawahan miliknya, Selasa (3/11/2020).

Pak Pur, panggilan akrab Surawan Purnomo, menjelaskan hasil menanam padi di area 1.000 meter persegi sekitar 350 kilogram beras. Jika harga beras Rp8.500 per kg, maka hasilnya Rp2.975.000. Waktu panen padi sekitar 100 hari.

Pak Pur dan tanaman padinya yang siap dipanen (Foto: Ono/Mandiripangan.com)

Sedangkan hasil menanam timun dengan area 1.000 m2 sebanyak 4.000 kg. Harga timun Rp3.000 per kg. Sehingga total hasilnya Rp12.000.000. Waktu awal petik timun sekitar 35 hari dan masa panennya sampai 30 hari ke depan.

“Jadi, kalau menanam timun hasilnya lebih banyak dibandingkan menanam padi. Sudah hasilnya lebih banyak, waktunya lebih sedikit,” tegas Pak Pur. Sedangkan pemasarannya juga mudah. Para pedagang sayuran umumnya mendatangi petani untuk membeli hasil panen sayurnya.

Untuk perhitungan ekonomi tanaman sayuran jenis lainnya, seperti lombok, pare, kacang panjang, dan gambas, hampir sama dengan timun. Berbagai jenis sayuran ini bisa ditanam dengan model tumpangsari.

Misalnya di area 1.000 m2 yang awalnya ditanam pare atau timun, di sela-selanya bisa ditanam lombok. Sehingga saat tanaman pare atau timun sudah habis masa panen, sudah disusul panen lombok.

Baca Juga:  Padi “Amphibi” Gamagora: Inovasi UGM untuk Indonesia

Apa yang dilakukan Pak Pur, juga ditiru oleh sejumlah petani lain. Sehingga hamparan persawahan di wilayah Madurejo yang dulu hanya ditanami padi, sekarang divariasi dengan tanaman berbagai jenis sayuran.

Sekarang, petani bisa menentukan sendiri untuk menanam apa saja yang dirasa lebih menguntungkan. Kebebasan menentukan sendiri dan hasil yang didapatkan ini yang membuat Pak Pur mantap menjadi seorang petani.

Pak Pur, sebenarnya lulusan Kedokteran Hewan UGM. Dulu dokter hewan ini pernah bekerja di sejumlah perusahaan peternakan dan usaha sendiri ternak sapi. Tapi saat ternak sapi, sempat ketipu orang dan usahanya bangkrut.

Sejak tahun 2011, Pak Pur fokus ke pertanian. Dia memiliki area sawah sendiri seluas 6.000 m2. Kemudian bapak seorang anak ini menyewa lahan sekitar 14.000 m2. Sehingga saat ini total lahan yang dikelola ada 20.000 m2.

Tanaman pare dan lombok dengan sistem tanam tumpangsari (Foto: Ono/Wiradesa.co)

Lahan 20.000 m2 ini sekarang ditanami padi dan berbagai jenis sayuran. Sawah seluas 2.500 m2 ditanami padi, lahan 5.500 m2 ditanami jagung manis, lahan 3.000 m2 ditanami timun, lahan 3.000 m2 ditanami pare.

Kemudian lahan 1.500 m2 ditanami semangka, lahan 1.500 m2 ditanami terong, lahan 1.500 m2 ditanami kacang panjang, dan lahan 1.500 m2 ditanami gambas. “Jadi setiap hari, kami bisa panen sayuran,” ujar Pak Pur.

Dengan kemandirian dan hasil yang diperoleh, Pak Pur, seorang petani di Dusun Serut, Desa Madurejo, Kecamatan Prambanan, mantap menjadi petani padi dan sayur. Meski posisi tawar di usaha bisnis pertanian masih rendah, tetapi para petani memiliki sikap hidup yang tidak bisa ditawar-tawar. Sikap hidupnya, antara lain nompo ing pandum (menerima apa yang didapatkan). (Ono)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *