PURBALINGGA – Tingginya harga cabai keriting di pasaran, ternyata menggugah para pemuda tani di desa Sanguwatang, Kecamatan Karangjambu. Mereka mulai beralih menanam cabai keriting merah di lahan pertanian miliknya dari semula ditanami kayu alba.
Petani yang tergabung dalam Kelompok Pemuda Tani “Suka Tani” itu membudidayakan kurang lebih 3.500 batang tanaman cabai merah keriting di lahan seluas 1.750 meter persegi.
Abdul, anggota Kelompok Pemuda Tani “Suka Tani” Desa Sanguwatang mengatakan, mereka sengaja beralih menaman cabai merah keriting, karena dirasa lebih menguntungkan. “Cabai merah keriting lebih menguntungkan dibanding tanaman alba yang harus dipanen dengan menunggu bertahun-tahun lamanya,” katanya, Rabu, 28 April 2021.
Dia menjelaskan, sejak pertama kali tanam pihaknya sudah memanen cabai merah keriting yang ditanam hingga empat kali. “Pada panen pertama diperoleh dua kilogram cabai merah keriting, dan panen kedua dihasilkan 11 kilogram,” jelasnya.
Dia menambahkan, pada panen ketiga tanaman cabainya menghasilkan 30 kilogram. Sedangkan pada panen keempat ini dihasilkan 75 kilogram cabai merah keriting.
Diungkapkan olehnya, tahun 2021 ini bisa dikatakan menjadi titik awal mulai dirintisnya budidaya tanaman cabai oleh Kelompok Pemuda Tani “Suka Tani”.
Seperti diketahui, Desa Sanguwatang yang merupakan daerah pegunungan sisi utara Purbalingga ini kebanyakan petani menanam komoditas kehutanan seperti kayu alba dan kayu lainnya.
Tanaman kayu ini dirasakan oleh petani kurang menjanjikan, karena baru dapat dipanen setelah sepuluh tahun, belum lagi jika dipotong biaya angkut kayu yang cukup tinggi.
Sedangkan petani lainnya, Ma’mur mengatakan hasil panen cabai keriting merah ini baru sebatas dijual di daerah sendiri yakni warga Sanguwatang dengan dibandrol harga Rp 35 ribu per kilogram. “Belum dijual ke luar desa,” katanya.
Sementara itu, Penyuluh Pertanian Lapangan BPP Karangjambu Darso mengatakan, saat ini yang dilakukan penyuluh adalah melakukan pembinaan pertanian kepada pemuda tani di Sanguwatang. Di antaranya dengan bagaimana pemuda tani lebih jeli melihat pangsa pasar hasil bumi pertanian yang lebih bernilai ekonomis.
“Dari kakek nenek mereka memang hanya berkutat dengan komoditas kehutanan, seperti alba dan kayu lainnya,” katanya.
Darso mencontohkan harga kayu alba misalnya, di Sanguwatang dijual dengan harga seperti pada umumnya di daerah lain. Namun karena Desa Sanguwatang yang kondisi geografisnya pegunungan maka biaya angkut kayu cukup tinggi. “Sehingga secara hitung-hitungan keuntungan yang didapatkan jadi tidak seberapa,” ujarnya. (Prima Intan DI)