BOGOR – Posisi perempuan adat di dalam gerakan masyarakat untuk kemajuan kehidupan berbangsa memiliki peran yang signifikan. Sebagaimana disampaikan Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan Aman, di dalam sambutannya pada diskusi virtual yang bertemakan “Kampung: Perempuan Adat Pelaku Kunci Kedaulatan Pangan”, digelar oleh Perempuan Aman pada Senin, 11 April 2021.
Ada banyak tantangan yang dihadapi para perempuan adat dalam mempraktikkan, mengembangkan dan mewariskan pengetahuan-pengetahuan yang turun-temurun dari leluhur ke generasi berikutnya. Hal tersebut diperparah dengan adanya perubahan wilayah, iklim, maupun struktur sosial di kampung mereka. Ditambah lagi, perempuan adat minim dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, kerja-kerja perempuan adat tidak berhenti di ranah domestik. Mereka berupaya mendorong kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kehidupan masyarakat adat. Di tengah kondisi Covid-19, mereka juga turut melakukan gerakan sosial ke warga perkotaan yang terdampak.
Pengurus Harian Daerah Perempuan Aman, Barito Timur, Kalimantan Tengah, Yeryana mengungkapkan, sejauh ini, para perempuan adat memenuhi kebutuhan hidupnya dari ladang. Hanya saja, ada kendala usai kebakaran yang terjadi pada 2014-2015. Saat itu, masyarakat adat kerap dikambinghitamkan seolah-olah sebagai pelaku atas kejadian tersebut. Padahal mereka membakar lahan kosong untuk digarap. Selain tidak memerlukan biaya besar, cara tradisional itu diyakini mampu menyuburkan tanah.
Menurut Yery dan warga, penyebab kabut asap bukan karena pembakaran pembukaan lahan. Sebab segala pengetahuan yang diwariskan oleh leluhur tentang pengolahan dan pemanfaatan lahan dilakukan dengan cara-cara ramah lingkungan. Termasuk terkait tata cara, waktu yang tepat, arah mata angin, perkiraan turunnya hujan, serta batas api, benar-benar mereka perhitungkan dari awal.
“Ketika masyarakat adat dituduh membakar ladang mengakibatkan asap, itu kami sakit sekali. Banyak sekali kriminalisasi terhadap penggarap ladang, itu juga menurunkan semangat masyarakat adat untuk kemandirian pangannya,” kenang Yery.
Adanya larangan dan kriminalisasi, juga berpengaruh terhadap banyaknya pihak yang enggan membuka ladang. Bahkan, beberapa pihak memilih meninggalkan kegiatan berladang. Sehingga, pada 2015-2019, pengolahan ladang mulai menurun akibat banyak warga yang takut ditangkap polisi serta dituduh sebagai pelaku pembakaran hutan.
Meskipun demikian, kata Yery, para perempuan adat bersiteguh untuk tetap berladang. Sebab bagi mereka, ladang adalah sumber penghidupan. “Dari ladang, kami menanam segala macam kebutuhan pangan. Beragam kebutuhan kami ya ada di ladang,” paparnya.
Terkait jumlah pengelola lahan lebih banyak perempuan dari laki-laki, karena secara kultur, perempuan adat lebih ditempatkan pada kerja-kerja domestik yang dekat dengan kebutuhan pangan.
Untuk masyarakat adat Dayak, mereka tidak bisa jauh-jauh dari kegiatan berladang. Sebab tanpa berladang, mereka tak bisa melakukan ritual yang semua itu dilakukan pascapanen. Dalam hal membuka dan menutup lahan, para perempuan adat juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku secara turun-temurun.
Saat awal pandemi, yang paling ditakutkan masyarakat adat adalah persoalan krisis pangan. “Yang kami gaungkan saat itu, mari menanam, mari berladang,” ucap Yery. Sedangkan untuk bahan pangan yang tidak bisa mereka beli, mereka upayakan ada dengan cara membuat atau mengadakannya.
Dirampas Industri
Menurut Yery, tantangan terberat mereka ialah jika wilayah adat mereka dirampas oleh industri. Selama masih ada tanah, sungai dan hutan, mereka akan baik-baik saja, meskipun masih harus berjuang melawan Covid-19.
Selain itu, kesejahteraan masyarakat adat bukan tentang seberapa banyak uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan. Akan tetapi, seberapa kecil pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan. Karena dengan itu, artinya, lingkungan mereka masih asri, lahan subur, hutan dan sungai masih sehat. Sehingga, Sumber Daya Alam (SDA) yang ada bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi mereka, kekuatan kampung berpengaruh pada kekuatan pangan mereka. “Kami tidak minta banyak ke negara, yang terpenting kami diberikan kemerdekaan atas tanah yang kami kelola. Bahkan, dengan begitu kami juga bisa ikut berkontribusi untuk negara,” terangnya.
Semenjak pandemi, ujar Yery, keberadaan masyarakat adat mulai terlihat. Meskipun sebelum-sebelumnya kerap dipandang tak berpengetahuan dan terbelakang. Namun pada kenyataannya, meskipun pandemi, mereka bisa mandiri secara pangan.
Tantangan terberat lainnya, berkaitan dengan kesehatan. Menurut penuturan Yery, pandemi menyulitkan akses pelayanan kesehatan bagi perempuan hamil dan melahirkan. Terlebih adanya peraturan pemerintah yang melarang dukun beranak maupun bidan kampung dalam membantu proses persalinan. Sedangkan, berdasarkan data, paparan Covid-19 tertinggi berada di fasilitas kesehatan maupun puskesmas.
Jaysa, Pengurus Harian Daerah Perempuan Aman Massenrempulu, Sulawesi Selatan, memaparkan, selama pandemi masyarakat tempat tinggalnya masih bisa melakukan aktivitas bertani maupun berkebun. Sejauh ini, perempuan adat yang paling berperan memikirkan kebutuhan di dalam keluarga.
Manfaatkan Pekarangan untuk Menanam
Saat pandemi, keluh Jaysa, mereka mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan karena suplai barang ke daerahnya mulai dibatasi. Salah satunya beras.
Akhirnya, warga mulai terdorong menanam aneka tanaman konsumsi dan memanfaatkan SDA yang sudah ada. Mereka juga melakukan budidaya ikan tawar dan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam.
Kendala mereka, masih kesulitan mendapatkan bibit maupun benih tanaman. Selain itu, jumlah pengeluaran kebutuhan hidup dirasa semakin tinggi dari sebelumnya.
Menariknya, di saat pandemi, mereka mulai memproduksi minuman herbal yang bahan dasarnya terbuat dari jahe sebagai upaya menambah penghasilan mereka.
Dewi Kustina, Pengurus Harian Perempuan Aman Montong Baan, NTB, mengimbuhkan, kondisi sebelum pendemi masih terbilang baik-baik saja. “Semua aktivitas berjalan lancar, baik pertanian, peternakan, dan kerajinan. Bisa dikatakan cukup eksis di kalangan masyarakat,” jelas Dewi.
Adanya Covid-19, membuat aktivitas mereka menjadi terbatas. Ritual rutin, acara berkumpul untuk musyawarah, semua mulai ditiadakan. “Sebelum pandemi, kami bisa mendapatkan kebutuhan pokok secara mudah dan tidak sesulit seperti ini,” lanjutnya.
Dampak covid-19 lainnya, karena adanya pembatasan interaksi sosial, kata Dewi, juga berdampak ke hasil pertanian mereka yang mengalami penurunan. (Septia Annur Rizkia)