SLEMAN – Berada di tengah-tengah perkampungan yang dikelilingi dengan nuansa persawahan, Warung Oemah Martani terlihat nyentrik. Terlebih, pekarangan dipenuhi tanaman telang. Tak hanya itu, ada juga tanaman lain seperti rosela, labu.
Pada Minggu, 21 Maret 2021, Wiradesa.co menemui pria yang akrab disapa Mas Tri, pengelola Warung Oemah Martani yang terletak di Jl Cangkringan, Babadan, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Saat ditanya mengenai Martani Pangan Sehat, Mas Tri mengungkapkan, Yusup dan Rita, pengelola Martani yang lebih mengetahui seluk-beluk dan perjalanan Martani. Namun, mereka sedang berada di luar kota. Akhirnya, ia pun menyarankan untuk menghubungi mereka via telepon.
Seluk-Beluk Terbentuknya Martani
Yusup Martani Maguantara menceritakan perjalanan Martani hingga bisa seperti saat ini. Menurut keterangannya, Martani digagas dan dilahirkan oleh anggota Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2010. KRKP merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berdomisili di Bogor yang ingin berkontribusi mewujudkan kedaulatan rakyat atas pangan.
Martani merupakan unit bisnis KRKP sekaligus menjadi metode pendampingan petani melalui perdagangan hasil tani dan pangan. Pada 23 Maret 2013, secara organisasi, Martani berpisah dengan KRKP dan mandiri secara finansial. Kegiatan utamanya adalah perdagangan hasil tani anggota. Saat itu, pria kelahiran Majenang ini menjalankan unit usaha tersebut di Bogor.
“Jadi Martani itu anaknya KRKP. Terus misah. Kalau waktu itu, sebuah lembaga yang agar bisa mandiri, men-support, supaya tidak tergantung dengan donor. Jadi idenya membantu petani untuk memasarkan hasil panennya,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Yusup ini menjelaskan arti Martani. Secara filosofi, berarti menghidupi. Namun, bisa pula diartikan sebagai mart-nya petani. Pada 2015, Yusup beserta istri memilih pindah ke Yogyakarta agar lebih dekat dengan petani produsen mereka, yang mulai mengolah hasil pertanian menjadi penganan. Mereka juga mulai memberi sebutan Martani pangan sehat, pada 23 Maret 2016. “Sampai sekarang hanya kami berdua, saya dan Rita mengelola Martani. Semua orang bisa menjadi Martani jika punya kesamaan gagasan dan praktik,” ungkapnya.
Misi yang diusung Martani ialah olah rasa mbangun jiwa. Pasangan suami istri Yusup dan Rita, selalu berusaha membangun jiwa kemandirian bagi siapa pun yang mereka temui melalui olah rasa, khususnya di sektor pangan. Pria berusia 50 tahun ini mengatakan, gagasan misi Martani terinspirasi dari lagu Indonesia Raya. Menurutnya, tidak hanya fisik yang perlu dibangun, tapi juga jiwa dan raga. “Jiwanya dulu, kemudian fisiknya,” terangnya.
Yusup berharap, petani selalu siap dengan harga hasil panen yang naik turun setiap saat. Baginya, melatih rasa itu penting agar para petani tidak mudah kaget dan kecewa dengan hasil jerih payahnya. Menurut pasangan ini, kemandirian pangan akan terbentuk jika pangan/bahan pangan tersedia, setiap orang/keluarga mempunyai kemampuan untuk mengolah pangan dengan cara yang paling mudah. Sebab bagi mereka, hanya kemalasan yang menjadi penghalang. Serta, setiap orang mampu menghargai hasil olahannya sendiri, dan jika lebih, bisa diperjualbelikan.
Meskipun Martani merupakan unit usaha, tujuannya masih sama dengan ibu kandungnya. Yaitu kemandirian pangan, sedangkan mendapatkan uang dari proses itu hanyalah risiko atau implikasi dari usaha tersebut. Orang lain sepaham atau tidak, mereka tidak mempersoalkan. Tentu, jika semakin banyak yang sepaham, mereka turut senang. “Kami berkegiatan tidak bertarget, di mana pun kami tinggal kami akan mengolah hasil tani dan pangan yang ada di situ,” terangnya kemudian.
Pola Usaha yang Dibangun Martani
Terhitung dari 2015 hingga saat ini, kurang lebih sudah lima tahun Martani menjadi unit usaha mandiri. Teknik pemasaran yang diterapkan sebagaimana berjualan pada umumnya. Yaitu online dan offline. Melalui online, mereka memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Blogspot, maupun Wattpad.
Mereka juga memilih menjual hal-hal yang jarang ada di sekitar tempat mereka memasarkan. Dengan begitu, mereka tidak ingin membuat saingan dengan warga sekitar. Saat pertama kali membuka warung, mereka tidak menetapkan daftar harga di menu mereka. Ketika ada orang makan atau minum olahan di warung Martani, mereka akan menjelaskan asal-usul serta pengolahan pangan tersebut. Terkait harga, mereka menerapkan konsep suka rela, atau seberapa rela konsumen itu membayar pangan yang dikonsumsinya itu.
Ide yang diusung Martani ialah menjembatani para petani yang belum bisa menjual hasil panen mereka. Dalam hal ini, Martani akan membantu menjualkan ke konsumen. Pelan-pelan, Martani juga sebagai penghubung atau orang ketiga yang membantu menjelaskan kepada para petani dan juga konsumen.
Prinsip Martani, kemandirian menjadi pemandu gerak-gerik Martani. Mereka juga tidak suka dengan barang impor. Karena unit usaha, bukan berarti menolak barang impor. Hanya saja, mereka lebih memilih membuat sendiri, sebagai alternatif jika bahan yang dibutuhkan hanya ada dari luar. “Kalau misalkan nggak punya, ya jangan dipaksakan untuk ada. Tapi bagaimana caranya agar menciptakan sesuatu itu secara mandiri,” ungkapnya.
Yusup, suami dari Rita, juga mengisahkan tantangan yang mereka hadapi. Susah dan senang mengiringi perjalanan mereka. Berbekal melakukan apa yang disenangi, membuat pasangan ini biasa saja ketika melewati fase susah maupun senang. Sebab, mereka merasa sudah mencapai jiwa ketenangan. Hingga saat ini, warung Martani sudah berjumlah 14 unit dengan konteks dan latar yang beragam. Sesuai kebutuhan, kalau diperlukan buka, mereka akan membukanya. Kalau perlu ditutup, mereka akan kembali menutupnya. Dan, 14 warung itu tersebar di tempat masing-masing anggota Martani.
Telang Sebagai Ciri Khas Martani
Martani juga identik dengan tanaman telang. Pada mulanya, pasangan suami istri ini dipertemukan dengan tanaman telang saat berada di Thailand. Ternyata, manfaat dari tanaman itu beragam, yaitu bisa untuk pewarna alami makanan dan minuman. Saat itu, di Indonesia belum banyak yang mengenal dan membudidayakan telang. Selain itu juga belum bernilai secara ekonomi.
Karena keinginan dan tekad yang kuat, Yusup dan Rita mulai bereskperimen dengan tanaman telang. Selain membudidayakan, mereka juga mencoba mengolah menjadi pangan yang bisa bernilai secara ekonomi. Setiap ada yang membeli telang, basah maupun kering, mereka akan memberikan bibit telang agar bisa ditanam dan dibudidayakan. Bagi Yusup, dengan memberikan bibit kepada pembeli, hal tersebut akan membuat mereka senang. Selain itu, ia juga tidak takut dengan persaingan. Sebab baginya, hal itu merupakan bagian dari olah rasa dan jiwa yang Martani.
Organik Menurut Martani
Menurut Martani, yang disebut tanaman organik adalah praktik pertanian yang bisa membuat petani mandiri. Artinya, tidak perlu membeli input dari luar. Bahan olahan yang dibuat juga bisa ditelusuri muasalnya. Dahulu, jelas Yusup, Sebelum adanya revolusi hijau, para petani bisa mandiri. Dari benih, pupuk, sampai nutrisi maupun pestisida, semua dibuat secara mandiri. Yaitu memanfaatkan yang ada di sekitar.
Meskipun Martani tidak pernah mengklaim produknya adalah organik, tapi beberapa konsumen mengatakan, secara teknis, produk mereka termasuk organik. Sudah seharusnya, pangan organik lebih mahal dari nonorganik, sebab tenaga dan waktu yang dicurahkan lebih banyak, meskipun pupuk kimia harganya lebih mahal dibanding yang organik.
Produk Olahan Martani
Selain telang yang menjadi bahan baku olahannya, Martani juga bereksperimen dengan produk lain dari bahan baku yang ada di sekitar mereka. Mereka juga membuat esensial oil yang nantinya bisa diolah lagi menjadi sabun, pembersih, parfum. Para petani yang memiiki sereh dan jeruk purut juga dijual di Martani, untuk kemudian diolah menjadi beragam produk.
Prinsip Bisnis Martani
Menurut Yusup, semua orang bisa menjalankan bisnis dengan cara dan keunikan masing-masing. Dalam sehari-hari, manusia melakukan bisnis yang erat kaitannya dengan komunikasi. Dalam hal meminta motor kepada orang tua, bagi Yusup, itu termasuk bisnis. Tergantung cara berkomunikasi, menyampaikan, serta mempertukarkan apa yang dipunya. Bisa dengan siapa pun yang diinginkan. Yang terpenting bagi Yusup, melakukan apa yang bisa dilakukan. Termasuk berkarya dan membuat produk terlebih dahulu, kemudian disampaikan kepada banyak orang. Urusan berhasil tidaknya, yang bisa menjamin hanya Tuhan.
Dalam hal produksi, bagi Yusup, tidak harus menghasilkan banyak. Melainkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dipunya. “Kalau banyak nggak bisa mengolah, buat apa. Kan butuh tenaga dan lainnya,” urainya. Pandemi, membuat mereka lebih banyak bereksperimen. Kalau produktivitas hanya dinilai uang, mereka mengakui tidak produktif. Namun, prinsip mereka bukan seperti itu. Bagi mereka, produktif tidak melulu yang menghasilkan uang.
Keunikan Martani ialah, mereka bisa dan bersedia menjelaskan setiap produk olahannya pada konsumen maupun pengunjung. Motivasi berbisnis yang dipegang tidak harus menghasilkan uang, tapi melakukan apa yang disuka dan bisa bermanfaat bagi sekitar. Dalam perjalanannya, mereka juga tak lepas dari keraguan. “Jangan takut salah. Kan belum dicoba. Jadi, mulailah dari yang disuka terlebih dahulu,” jelasnya.
Untuk menginisiasi yang lain, mereka lebih memilih menyampaikan apa yang sudah dilakukan. “Jangan dulu lah kita ngomongin tentang kedaulatan pangan, kalau misalnya kedaulatan diri sendiri saja belum selesai,” pungkasnya. (Septia Annur Rizkia)