KULONPROGO – Budidaya lidah buaya tak membutuhkan perawatan terlalu rumit. Wiwit Suroto (46) petani yang menggeluti lidah buaya sejak 2017 mengatakan, tanaman bernama latin Aloe vera dapat ditanam pada media pot dan lahan pertanian seperti kebun serta persawahan.
“Tanaman lidah buaya butuh paparan sinar matahari cukup antara 3-5 jam perhari,” kata Wiwit Suroto, Kamis 4 November 2021. Selain cukup sinar matahari, kebutuhan pupuk disarankan memakai pupuk organik seperti pupuk kandang padat. Bila ditanam pada media pot, diameter pot setidaknya 30 cm dengan media tanam berupa tanah, pupuk organik, sekam bakar dengan perbandingan 1:1:1.
Pemenuhan kebutuhan air, lanjutnya, di musim hujan dan kemarau berbeda. Pada kemarau butuh penyiraman dua kali dalam seminggu. Karena itu, butuh sumur di dekat kebun. Boleh sumur gali atau sumur bor. Sementara pada musim hujan dibutuhkan sirkulasi air yang baik guna menghindari genangan. Pasalnya bila terjadi banjir atau genangan secara terus-menerus dalam jangka waktu tiga hari, tanaman lidah buaya bakal membusuk dan mati. Artinya, kebun lidah buaya mesti dihindarkan dari kebanjiran.
Wiwit yang tinggal di Ngramang RT 21 RW 10 Kedungsari, Pengasih memilih budidaya lidah buaya sebagai fokus usahanya karena alasan kemudahan dalam hal budidaya. Di samping itu, risiko hama terbilang kecil dan bisa dipanen rutin sebulan sekali.
“Angka harapan hidup lidah buaya terbilang tinggi. Sekitar delapan tahun. Sepanjang masa itu dipanen pelepah sebulan sekali. Panen anakan empat bulan sekali,” tutur Wiwit yang punya 2000 tanaman lidah buaya tersebar di tiga lokasi.
Potensi utama panen lidah buaya ada pada daun (pelepah). Pelepah layak panen yakni pelepah berumur di atas delapan bulan dengan berat perpelepah 3-4 ons. Sedangkan dalam satu tanaman lidah buaya saat panen diambil antara dua sampai tiga pelepah terbawah.
“Memperoleh panen pelepah lidah buaya dengan berat ideal 3-4 ons tidaklah sulit. Asalkan persyaratan terpenuhi terutama kecukupan pupuk. Pupuk jadi keharusan. Tanpa pupuk cukup khawatirnya panen bakal tak sesuai target,” ujarnya.
Potensi Ekonomi Lidah Buaya
Usai panen, petani lidah buaya seperti Wiwit dapat langsung menjual hasil panenan pelepah atau mengolah lidah buaya menjadi aneka produk. Disebutkan Wiwit, ia telah mengolah lidah buaya menjadi minuman nata de aloe, teh kulit lidah buaya, kerupuk lidah buaya dan cendol dawet lidah buaya. Pengolahan lidah buaya tak berhenti pada empat produk. Ternyata lidah buaya masih memungkinkan diolah menjadi aneka produk lain seperti halnya produk kecantikan sabun dan shampo lidah buaya, gel lidah buaya antiselulit.
“Aloe vera atau lidah buaya bisa dikonsumsi pula sebagai alternatif pengobatan herbal dan mendukung program diet. Bagi kesehatan mengonsumsi lidah buaya dipercaya mampu meredakan gangguan lambung. Sisi bisnis lain, penjualan pelepah dapat disalurkan ke ritel dan ke pabrik seperti pabrik kosmetik,” papar Wiwit.
Ritel dan pabrik umumnya menerapkan standar khusus seperti berat minimal tiga ons perpelepah. Di samping mengolah dan menjual pelepah, potensi ekonomi lidah buaya juga bisa didapat dari penjualan bibit dan wisata agro edukasi kebun lidah buaya.
Menurut Wiwit yang didapuk sebagai ketua Asosiasi Lidah Buaya Kulonprogo, dari 30 anggota asosiasi, ada yang fokus pada budidaya, ada pula yang fokus dalam mengembangkan produk olahan serta fokus pada pemasaran produk olahan.
“Seperti sudah disebut, tujuan utama dari bertani lidah buaya seharusnya ada pada penjualan pelepah atau pengolahan menjadi bermacam produk turunan. Sedangkan hasil dari jual bibit sebagai bonusnya,” urainya.
Pengalaman Wiwit, permintaan pelepah lidah buaya lewat asosiasi yang dipimpinnya mulanya 700 kilogram sekali kirim. Terbaru, permintaan mencapai dua ton. Pesanan datang dari pabrik kosmetik. Memenuhi permintaan sebanyak dua ton, para petani lidah buaya anggota asosiasi mengumpulkan pelepah di tiga titik kumpul di Kedundang, Tayuban dan di Kedungsari. “Satu kilogram pelepah dibeli dari petani Rp 3 ribu. Satu kilogram isi 2-3 pelepah. Bila punya 2000 tanaman lidah buaya, potensi pendapatan kotor sudah bisa dihitung sekitar Rp 6 juta,” tambahnya.
Akan tetapi, potensi pendapatan tersebut belum dapat dijadikan sebagai patokan lantaran permintaan skala besar dari industri belum rutin tiap bulan sekali. Maka pola yang ditekankan Wiwit kepada para petani binaan dan mitranya bagaimana mereka bisa menanam, bisa mengolah dan bisa menjual produk olahan.
“Bagi mitra yang punya 500 tanaman ke bawah bila tidak jual pelepah masih mungkin mengolah hasil panen menjadi aneka produk. Namun, bila di atas 1000 tanaman, hasil panen harus disalurkan ke ritel atau industri agar tertampung. Repotnya, dari pabrik permintaan belum bersifat rutin,” jelas Wiwit.
Menghadapi kendala tersebut Wiwit dan para petani lidah buaya yang tergabung dalam asosiasi pernah mengadu kepada dinas terkait tingkat provinsi. Tanggapan yang diterima saat audiensi itu diakui bahwa pertanian lidah buaya khususnya di Kulonprogo menjadi sesuatu yang sifatnya “nemu” karena tanpa binaan dinas, tanpa diaruhke, ternyata sudah banyak petani yang menanam, punya kebun budidaya, punya produk olahan dan ceruk pasar bahkan telah terbentuk organisasi petani lidah buaya. “Hingga tahun ini belum dianggarkan oleh dinas terkait, adapun penyelenggaraan pelatihan yang pernah dilaksanakan sumber dana dari pihak lain seperti dari dana jaring aspirasi anggota dewan atau partai,” bebernya.
Meski begitu, pada 2022, ujar Wiwit, pengembangan pertanian lidah buaya mulai mendapat alokasi anggaran diantaranya diperuntukkan buat pelatihan dan standardisasi produk organik.
Sebagai petani lidah buaya Wiwit mengakui dirinya berusaha total dan tak beralih ke pertanian lain. Dia berusaha konsisten meski awalnya mungkin ditertawakan. “Awal-awal sempat digeguyu. Di sawah kok menanam lidah buaya. Namun meski tak terkatakan, pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa budidaya lidah buaya layak diperjuangkan,” tuturnya.
Wiwit boleh dikatakan hidup dari lidah buaya. Mulai pagi ambil lidah buaya, siang mengolah produk atau mengantar produk olahan, mengirim paket pesanan luar daerah. Dia juga jual pelepah manakala ada pesanan kecil atau besar. Wiwit juga kerap diundang mengisi pelatihan budidaya lidah buaya dan pengolahannya seperti diundang oleh kelompok wanita tani. “Harapannya, di rumah bisa mendirikan Aloe vera center, wahana wisata edukasi lidah buaya,” pungkas Wiwit. (Sukron)