BANTUL – Panen padi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekitarnya sekarang sudah tidak pakai ani-ani. Selain itu juga sudah tidak ada upacara wiwitan menjelang panen.
Alat potong padi yang digerakkan dengan jari-jari ini sekarang sudah digantikan dengan arit atau sabit yang biasanya untuk memotong rumput. Panen padi yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu petani, sekarang sudah digantikan bapak-bapak dengan sabit atau traktor.
“Sekarang sudah tidak ada ani-ani. Kalau panen padi, umumnya dibabat pakai sabit. Ada satu dua petani yang menggunakan jasa alat mesin pemotong padi,” ujar Marji, petani Mertosanan Kulon, Potorono, Banguntapan, Bantul, Minggu (20/9/2020).
Jika diburuhkan dengan tenaga manusia, pakai sabit, setiap mendapat 8 karung gabah, upahnya 1 karung. Sedangkan kalau memakai alat mesin atau traktor, setiap 1.000 meter persegi upahnya Rp250.000.
Sebenarnya jika panen dilakukan oleh ibu-ibu petani dengan ani-ani, hasilnya lebih maksimal dan bersih. Karena perempuan itu lebih telaten, bersih, dan open. Sehingga tidak ada sedikit pun padi yang tersisa. Cuma waktunya agak lama.
Dulu sebelum panen diani-ani ada upacara wiwitan. Petani membawa makanan, lengkap dengan nasi dan lauk pauk. Biasanya lauknya ayam panggang, sayur kacang panjang dan ikan asin. Nasi wiwitan setelah dibawa dan didoakan di sawah, kemudian dibagikan ke anak-anak yang mengikutinya.
Jaman dulu, saat akan ada wiwitan di sawah tertentu, beritanya sudah menyebar ke masyarakat. Kemudian anak-anak sudah siap mengikuti wiwitan yang sudah terjadwalkan itu. Misalnya hari Minggu di sawah milik Pak Joyo. Sehingga saat pelaksanaan wiwitan, pasti ramai.
Wiwitan itu sebenarnya melambangkan wujud rasa syukur kepada Sang Pemilik Kehidupan. Pemilik alam sudah menyuburkan sawah dan memberikan hasil padi yang melimpah. Sebagai wujud syukur, maka dilaksanakan wiwitan. Sayangnya acara wiwitan itu sudah dihilangkan. Padahal itu budaya yang baik untuk kelestarian alam semesta. (*)